Masih melanjutkan tentang bekerja di ketinggian, dari hasil diskusi Dua Bulanan yang baru saja kita laksanakan, ada hal utama yang kerap di tanyakan dan menjadi topik hangat. Apa sih sebenarnya definisi 'bekerja di ketinggian'? Banyak Safety Officer yang berpengalaman kalau ditanya apa definisinya, tanpa melihat hal lain akan langsung berpikir bahwa bekerja di ketinggian adalah pekerjaan yang dilakukan di atas ketinggian sekitar 2 (dua) meter atau lebih. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi tidak juga terlalu relevan pada perkembangan saat ini karena beberapa negara tidak lagi menyebutkan angka berapa 'ketinggian' dalam bentuk kuantitatif. Indonesia melalui Permenaker no 9 tahun 2016 tentang "K3 Dalam Pekerjaan Pada Ketinggian" yang baru saja terbit di bulan Maret 2016, tidak menyebut angka berapa yang disebut dengan tinggi, definisi resmi 'bekerja pada ketinggian' menurut peraturan baru tersebut adalah: 'kegiatan atau aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja pada Tempat Kerja di permukaan tanah atau perairan yang terdapat perbedaan ketinggian dan memiliki potensi jatuh yang menyebabkan Tenaga Kerja atau orang lain yang berada di tempat kerja cidera atau meninggal dunia atau menyebabkan kerusakan harta benda'. |
Jadi selain tidak menyebutkan berapa meter tinggi yang dimaksud, juga tidak menyebutkan seberapa parah cidera yang diderita bila terjadi kecelakaan. Banyak negara telah menghilangkan angka (biasanya 2 meter), sehingga utk beberapa praktisi menjadi sulit ketika pelaksanaan, karena misalkan, apakah mengganti lampu di langit-langit rumah adalah bekerja di ketinggian walaupun bisa dijangkau dengan tangan? Apakah bekerja di bawah permukaan tanah juga berarti bekerja di ketinggian? karena kalau dihitung dari permukaan tanah, di situ adalah titik nol dari ketinggian, apakah minus 2 meter dari permukaan tanah juga berarti ketinggian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus sepakat dulu bahwa bekerja ketinggian adalah membicarakan perbedaan tinggi yang bisa menyebabkan cidera, kehilangan nyawa atau kerusakan harta benda sesuai definisi Permenaker. Bayangkan bila pekerja menggali sebuah parit (trench) sedalam 4 meter untuk membuat sebuah konstruksi terowongan, tetapi yang bersangkutan sedang berada di atas permukaan tanah, bisa dibiliang dia juga berada di ketinggian karena dasar dari terowongan dan permukaan tanah dimana dia berdiri, bekerja atau menggantung mempunyai beda tinggi sebesar 4 meter.
Akan mudah kalau kita membayangkan ketinggian yang ekstrim atau di atas dua meter, bagaimana ketinggian misalkan tidak lebih dari satu undakan anak tangga? apakah kita tetap memperlakukan hal yang sama dalam hal Perlindungan Jatuh? tentu saja tidak. Sangat tidak praktis dan menyulitkan kalau kita harus menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) full body harness setiap saat, tetapi biasanya untuk kemudahan di sebuah lokasi konstruksi, perintah pemakaian full body harness langsung dipukul rata menjadi wajib bagi semua pekerja yang bekerja di ketinggian, tanpa memperhitungkan berapa 'tinggi' yang dimaksud?
Oleh karena itu maka lebih baik kita kembalikan kepada cara - cara pencegahannya, karena menurut definisi Perlindungan Jatuh (Fall Protection) ada dua macam pendekatan yaitu Pencegah Jatuh (Work Restrain) dan Penahan Jatuh (Fall Arrest), dua hal yang disebutkan itu berlaku untuk perseorangan maupun kolektif (bermanfaat untuk beberapa orang). Seperti halnya di konstruksi, di industri telekomunikasi kita hanya mengenal Full Body Harness karena tidak menerapkan secara menyeluruh hirarki dari logika Perlindungan Jatuh. Sebaiknya di benak kita selalu mengingat peringkat terbawah Perlindungan Jatuh bisa dibayangkan sebagai usaha administrasi prosedur kerja, seperti rambu, pagar dan lain - lain yang tidak berhubungan langsung dengan badan si pekerja, tingkatan berikutnya adalah Pencegah Jatuh dengan menggunakan restrain kemudian baru arrester, yang dalam banyak kasus adalah APD full body harness. Seperti kita tahu APD adalah usaha terakhir bila kita akan mengurangi risiko.
Disinilah lalu kita sering salah memilih jenis full body harness yang biasanya hanya digunakan utk work restrain dan tidak mempunyai dorsal ring yang cukup utk bekerja dengan sistem akses tali (rope access), untuk memudahkan pekerja, pengawas dan investasi sebaiknya dipilihkan satu jenis yang bisa dipakai dimana saja yaitu full body harness yang mempunyai minimal 5 (lima) dorsal ring seperti yang diwajibkan oleh beberapa vendor telekomunikasi kepada para subkontraktornya. Lalu bagaimana memilih APD full body harness yang benar untuk bekerja di dunia telekomunikasi? nanti akan kita bahas pada artikel selanjutnya.
Konteks dari tulisan kali ini adalaha kami ingin meyakinkan anda bahwa perbedaan tinggi merupakan sesuatu yg perlu dipertimbangkan, baik itu 2 meter atau 0,2 meter, semuanya mempunyai risiko dan mitigasi yang berbeda. Indonesia tidak mempunyai batasan ketinggian serta banyak negara sudah mulai meninggalkan batasan ketinggian itu berapa meter adaya. Analogi yang paling saya ingat ketika belajar tentang hal ini adalah: tidak perlu kita membunuh nyamuk dengan bom nuklir, karena memang nyamuknya akan mati tetapi akan lebih banyak kerusakan yang timbul, lebih baik membunuh nyamuk dengan obat nyamuk saja, karena yang mati diharapkan hanya nyamuk bukan yang lain. Semoga bermanfaat.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus sepakat dulu bahwa bekerja ketinggian adalah membicarakan perbedaan tinggi yang bisa menyebabkan cidera, kehilangan nyawa atau kerusakan harta benda sesuai definisi Permenaker. Bayangkan bila pekerja menggali sebuah parit (trench) sedalam 4 meter untuk membuat sebuah konstruksi terowongan, tetapi yang bersangkutan sedang berada di atas permukaan tanah, bisa dibiliang dia juga berada di ketinggian karena dasar dari terowongan dan permukaan tanah dimana dia berdiri, bekerja atau menggantung mempunyai beda tinggi sebesar 4 meter.
Akan mudah kalau kita membayangkan ketinggian yang ekstrim atau di atas dua meter, bagaimana ketinggian misalkan tidak lebih dari satu undakan anak tangga? apakah kita tetap memperlakukan hal yang sama dalam hal Perlindungan Jatuh? tentu saja tidak. Sangat tidak praktis dan menyulitkan kalau kita harus menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) full body harness setiap saat, tetapi biasanya untuk kemudahan di sebuah lokasi konstruksi, perintah pemakaian full body harness langsung dipukul rata menjadi wajib bagi semua pekerja yang bekerja di ketinggian, tanpa memperhitungkan berapa 'tinggi' yang dimaksud?
Oleh karena itu maka lebih baik kita kembalikan kepada cara - cara pencegahannya, karena menurut definisi Perlindungan Jatuh (Fall Protection) ada dua macam pendekatan yaitu Pencegah Jatuh (Work Restrain) dan Penahan Jatuh (Fall Arrest), dua hal yang disebutkan itu berlaku untuk perseorangan maupun kolektif (bermanfaat untuk beberapa orang). Seperti halnya di konstruksi, di industri telekomunikasi kita hanya mengenal Full Body Harness karena tidak menerapkan secara menyeluruh hirarki dari logika Perlindungan Jatuh. Sebaiknya di benak kita selalu mengingat peringkat terbawah Perlindungan Jatuh bisa dibayangkan sebagai usaha administrasi prosedur kerja, seperti rambu, pagar dan lain - lain yang tidak berhubungan langsung dengan badan si pekerja, tingkatan berikutnya adalah Pencegah Jatuh dengan menggunakan restrain kemudian baru arrester, yang dalam banyak kasus adalah APD full body harness. Seperti kita tahu APD adalah usaha terakhir bila kita akan mengurangi risiko.
Disinilah lalu kita sering salah memilih jenis full body harness yang biasanya hanya digunakan utk work restrain dan tidak mempunyai dorsal ring yang cukup utk bekerja dengan sistem akses tali (rope access), untuk memudahkan pekerja, pengawas dan investasi sebaiknya dipilihkan satu jenis yang bisa dipakai dimana saja yaitu full body harness yang mempunyai minimal 5 (lima) dorsal ring seperti yang diwajibkan oleh beberapa vendor telekomunikasi kepada para subkontraktornya. Lalu bagaimana memilih APD full body harness yang benar untuk bekerja di dunia telekomunikasi? nanti akan kita bahas pada artikel selanjutnya.
Konteks dari tulisan kali ini adalaha kami ingin meyakinkan anda bahwa perbedaan tinggi merupakan sesuatu yg perlu dipertimbangkan, baik itu 2 meter atau 0,2 meter, semuanya mempunyai risiko dan mitigasi yang berbeda. Indonesia tidak mempunyai batasan ketinggian serta banyak negara sudah mulai meninggalkan batasan ketinggian itu berapa meter adaya. Analogi yang paling saya ingat ketika belajar tentang hal ini adalah: tidak perlu kita membunuh nyamuk dengan bom nuklir, karena memang nyamuknya akan mati tetapi akan lebih banyak kerusakan yang timbul, lebih baik membunuh nyamuk dengan obat nyamuk saja, karena yang mati diharapkan hanya nyamuk bukan yang lain. Semoga bermanfaat.