Lord mangarajaPendiri Jaring K3 Telekomunikasi, praktisi, auditor tersertifikasi dan murid untuk segala hal yang baru tentang K3. | Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah sebuah sistem yang cukup unik menurut saya, karena selain namanya yang cenderung 'generik' bila diterjemahkan ke bahasa Inggris juga merupakan satu-satunya sistem manajemen yang kriteria serta persyaratannya diatur oleh negara, tidak ada selain Indonesia yang mempunyai standar manajemen seperti ini. Terlepas dari bentuknya saat ini, SMK3 banyak menyerap bentuk dari standar ISO (International Standard Organization) dalam banyak hal, bila kita bicara ISO (yang mana saja) atau OHSAS 18001:2007 maka elemen-elemen yang diminta adalah sesuatu kesepakatan antara penyusun standar OHSAS tersebut, yang didalamnya ada badan sertifikasi baik swasta maupun pemerintah, praktisi dan organisasi yang berkepentingan terhadap implementasi K3, bukan sebuah peraturan negara. |
Pada kenyataannya tidak semua perusahaan di Indonesia menerapkan SMK3 yang diatur dalam PP RI no 50 tahun 2012 ini, karena banyaknya argumen bahwa perusahaan tidak perlu melakukan peraturan ini karena adanya batasan yang bagi saya sendiri baru saya ketahui jawaban pastinya.
Dari pengalaman sebagai praktisi K3 di berbagai industri saya melihat alasan yang paling banyak dipakai untuk menghindari kewajiban implementasi SMK3 adalah alasan tentang jenis perusahaan yang 'wajib' hanya dikenakan untuk perusahaan dengan 'tingkat potensi bahaya tinggi', sesuai dengan kutipan PP RI no 50 tahun 2012 pasal 5, yang berbunyi:
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan:
a. mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau
b. mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.
(3) Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu ada asumsi lain yang menyebutkan bahwa industri jasa tidak relevan untuk melaksanakan kewajiban ini, bahkan sampai minggu lalu ketika saya mengambil pembinaan auditor SMK3 yang diadakan oleh salah satu PJK3, contoh-contoh implementasi lebih banyak kepada perusahaan fabrikasi, pabrik atau yang menghasilkan bahan hasil produksi. Saya ingin mengingatkan diri sendiri, kepada semua praktisi K3 dan semua perusahaan yang mau mengimplementasi sistem manajemn K3, secara default sebenarmya kita wajib melaksanakan SMK3 di perusahaan sebelum kita melakukan sertifikasi ISO/OHSAS (lihat pasal 1 ayat 1 di atas) karena hal ini disebutkan secara spesifik, apalagi bila perusahaan saudara mempekerjakan 100 orang atau lebih.
Pertanyaan yang paling mengganjal adalah apa ukuran 'tingkat potensi bahaya tinggi', siapa yang menentukan? karena disebutkan sesuai ketentuan perundang-undangan. Jawaban yang paling saya tahu adalah setiap perusahaan bisa membuat surat kepada Kementerian Ketenagakerjaan tentang penggolongan ini, pada praktiknya, teman-teman di daerah banyak tidak mendapatkan jawaban resmi tentang penggolongan ini, banyak laporan P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan K3) juga walaupun dilaporkan secara tertib tiga bulanan tidak mendapatkan jawaban resmi dari Dinas Ketenagakerjaan di tempat mereka berada, hal ini memang kendala lain yang mungkin ada. Secara legal reviews ketika anda menjalankan ISO maupun OHSAS, anda juga harus taat kepada peraturan perundang-undangan yang diatur oleh elemen OHSAS 18001: 2007 pada elemen (4.3.2) tentang Peraturan Hukum dan Persyaratan Lainnya. Sebuah organisasi/perusahaan harus memastikan untuk menetapkan, melaksanakan dan merawat peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang berhuhubungan dengan K3. Jadi secara tidak langsung anda juga diminta untuk melaksanakan SMK3/PP RI no 50 tahun 2012 sebagai pemenuhan sertifikasi OHSAS 18001 anda.
Dari pengalaman sebagai praktisi K3 di berbagai industri saya melihat alasan yang paling banyak dipakai untuk menghindari kewajiban implementasi SMK3 adalah alasan tentang jenis perusahaan yang 'wajib' hanya dikenakan untuk perusahaan dengan 'tingkat potensi bahaya tinggi', sesuai dengan kutipan PP RI no 50 tahun 2012 pasal 5, yang berbunyi:
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan:
a. mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau
b. mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.
(3) Ketentuan mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu ada asumsi lain yang menyebutkan bahwa industri jasa tidak relevan untuk melaksanakan kewajiban ini, bahkan sampai minggu lalu ketika saya mengambil pembinaan auditor SMK3 yang diadakan oleh salah satu PJK3, contoh-contoh implementasi lebih banyak kepada perusahaan fabrikasi, pabrik atau yang menghasilkan bahan hasil produksi. Saya ingin mengingatkan diri sendiri, kepada semua praktisi K3 dan semua perusahaan yang mau mengimplementasi sistem manajemn K3, secara default sebenarmya kita wajib melaksanakan SMK3 di perusahaan sebelum kita melakukan sertifikasi ISO/OHSAS (lihat pasal 1 ayat 1 di atas) karena hal ini disebutkan secara spesifik, apalagi bila perusahaan saudara mempekerjakan 100 orang atau lebih.
Pertanyaan yang paling mengganjal adalah apa ukuran 'tingkat potensi bahaya tinggi', siapa yang menentukan? karena disebutkan sesuai ketentuan perundang-undangan. Jawaban yang paling saya tahu adalah setiap perusahaan bisa membuat surat kepada Kementerian Ketenagakerjaan tentang penggolongan ini, pada praktiknya, teman-teman di daerah banyak tidak mendapatkan jawaban resmi tentang penggolongan ini, banyak laporan P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan K3) juga walaupun dilaporkan secara tertib tiga bulanan tidak mendapatkan jawaban resmi dari Dinas Ketenagakerjaan di tempat mereka berada, hal ini memang kendala lain yang mungkin ada. Secara legal reviews ketika anda menjalankan ISO maupun OHSAS, anda juga harus taat kepada peraturan perundang-undangan yang diatur oleh elemen OHSAS 18001: 2007 pada elemen (4.3.2) tentang Peraturan Hukum dan Persyaratan Lainnya. Sebuah organisasi/perusahaan harus memastikan untuk menetapkan, melaksanakan dan merawat peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang berhuhubungan dengan K3. Jadi secara tidak langsung anda juga diminta untuk melaksanakan SMK3/PP RI no 50 tahun 2012 sebagai pemenuhan sertifikasi OHSAS 18001 anda.
Apa yang perlu dilakukan?
Tindakan paling tepat dan bijaksana apabila anda akan menerapkan SMK3 adalah dengan melakukan korespondensi atau menyamakan kriteria PP no 50 tahun 2012 (Lampiran 2) dengan elemen ISO/OHSAS yang anda punya saat ini. Kabar baiknya semua isi kriteria yang ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 April 2012 ini mempunyai alir proses yang sama dengan semua produk ISO/OHSAS yang terbaru sekalipun. Semuanya mempunyai alur PDCA (Plan, Do, Check Action) yang sama dan cenderung mendukung apa yang telah kita lakukan dalam implementasi ISO/OHSAS. Jadi tidak ada yang bertentangan.
Bagaimana dengan biayanya? saya bisa membagi masalah biaya ini menjadi dua bagian yaitu masalah biaya audit (serta sertifikatnya) dan biaya tidak langsung. Untuk biaya sertifikasi oleh badan sertifikasi untuk saat ini paling tidak ada 9 (sembilan) badan sertifikasi baik swasta maupun BUMN sehingga mungkin harganya bisa lebih kompetitif dibandingkan beberapa tahun lalu, biaya tidak langsung yang paling banyak muncul adalah pelatihan bagi penanggungjawab, petugas dan mereka yang terlibat dalam implementasi K3, yang dalam hal ini bisa saya yakinkan hampir banyak di semua lini organisasi. Minimal anda harus melakukan pelatihan (atau dalam istilah Kemenaker disebut pembinaan) untuk Ahli K3 Umum, petugas P3K (yang tersertifikasi Naker), petugas kebakaran dll sesuai dengan jenis usaha anda. Biaya lain yang menurut saya tidak perlu digabung dari dua biaya yang saya sebutkan sebelumnya adalah biaya perawatan untuk memastikan ini kriteria-kriteria SMK3 dapat terpenuhi oleh perusahaan seperti biaya inspeksi, kalibrasi, pemeriksaan kesehatan dll yang mungkin saja sekali lagi sudah termasuk di dalam proses ketika anda melakukan sertifikasi ISO/OHSAS.
Bagaimana selanjutnya?
Praktisi K3 di perusahaan biasanya adalah seorang Ahli K3 Umum, seperti juga saya, kita terlena untuk melakukan yang ada di depan mata seperti persyaratan dari pelanggan yang membeli produk kita, tetapi lupa bahwa kita mempunyai peraturan perundang-undangan yang perlu kita penuhi. Dilemanya bahkan dilihat dari sisi realitata di lapangan bahkan persyaratan pelanggan ini tidak mempertimbangkan aspek K3 tetapi lebih banyak aspek komersial dan mutu saja.
Seperti halnya kami di Jaring K3 Telko, kami ingin meyakinkan industri telekomunikasi bahwa K3 adalah bagian tidak terpisahkan dan seharusnya tidak dipisahkan dalam kegiatan operasional perusahaan, saat ini saya mengingatkan kepada praktisi K3 dan penanggungjawab perusahaan untuk mulai mempertimbangkan pemenuhan PP RI no 50 tahun 2012 ini. Untuk saat ini pengawasan mungkin saja belum sampai ke perusahaan anda, tetapi tidak melaksanakan hal ini berarti anda telah melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Tindakan paling tepat dan bijaksana apabila anda akan menerapkan SMK3 adalah dengan melakukan korespondensi atau menyamakan kriteria PP no 50 tahun 2012 (Lampiran 2) dengan elemen ISO/OHSAS yang anda punya saat ini. Kabar baiknya semua isi kriteria yang ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 April 2012 ini mempunyai alir proses yang sama dengan semua produk ISO/OHSAS yang terbaru sekalipun. Semuanya mempunyai alur PDCA (Plan, Do, Check Action) yang sama dan cenderung mendukung apa yang telah kita lakukan dalam implementasi ISO/OHSAS. Jadi tidak ada yang bertentangan.
Bagaimana dengan biayanya? saya bisa membagi masalah biaya ini menjadi dua bagian yaitu masalah biaya audit (serta sertifikatnya) dan biaya tidak langsung. Untuk biaya sertifikasi oleh badan sertifikasi untuk saat ini paling tidak ada 9 (sembilan) badan sertifikasi baik swasta maupun BUMN sehingga mungkin harganya bisa lebih kompetitif dibandingkan beberapa tahun lalu, biaya tidak langsung yang paling banyak muncul adalah pelatihan bagi penanggungjawab, petugas dan mereka yang terlibat dalam implementasi K3, yang dalam hal ini bisa saya yakinkan hampir banyak di semua lini organisasi. Minimal anda harus melakukan pelatihan (atau dalam istilah Kemenaker disebut pembinaan) untuk Ahli K3 Umum, petugas P3K (yang tersertifikasi Naker), petugas kebakaran dll sesuai dengan jenis usaha anda. Biaya lain yang menurut saya tidak perlu digabung dari dua biaya yang saya sebutkan sebelumnya adalah biaya perawatan untuk memastikan ini kriteria-kriteria SMK3 dapat terpenuhi oleh perusahaan seperti biaya inspeksi, kalibrasi, pemeriksaan kesehatan dll yang mungkin saja sekali lagi sudah termasuk di dalam proses ketika anda melakukan sertifikasi ISO/OHSAS.
Bagaimana selanjutnya?
Praktisi K3 di perusahaan biasanya adalah seorang Ahli K3 Umum, seperti juga saya, kita terlena untuk melakukan yang ada di depan mata seperti persyaratan dari pelanggan yang membeli produk kita, tetapi lupa bahwa kita mempunyai peraturan perundang-undangan yang perlu kita penuhi. Dilemanya bahkan dilihat dari sisi realitata di lapangan bahkan persyaratan pelanggan ini tidak mempertimbangkan aspek K3 tetapi lebih banyak aspek komersial dan mutu saja.
Seperti halnya kami di Jaring K3 Telko, kami ingin meyakinkan industri telekomunikasi bahwa K3 adalah bagian tidak terpisahkan dan seharusnya tidak dipisahkan dalam kegiatan operasional perusahaan, saat ini saya mengingatkan kepada praktisi K3 dan penanggungjawab perusahaan untuk mulai mempertimbangkan pemenuhan PP RI no 50 tahun 2012 ini. Untuk saat ini pengawasan mungkin saja belum sampai ke perusahaan anda, tetapi tidak melaksanakan hal ini berarti anda telah melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.